Metropilar Pos - New York, Perkenankan saya minta maaf terlebih dulu ke teman-teman Cina karena saya bukan anti-Cina. Toh
Islam itu adalah agama semua ras dan etnis. Juga kepada teman-teman
Kristiani karena saya bukan anti-Kristen. Anda semua adalah saudara saya
walau kita beda keyakinan.
Saya juga minta maaf kepada para pemilih Jakarta. Karena saya menghormati pilihan Anda. Toh
saya juga tidak punya hak pilih di Jakarta. Saya yakin anda memilih
seoarang kandidat karena anda menilai dia terbaik untuk Jakarta. Dan
karenanya seperti saya, Anda ingin yang terbaik bagi Jakarta dan
Indonesia.
Justeru
yang ingin saya sampaikan adalah kekecewaan saya terhadap perlakuan
hukum yang berbeda kepada warga Indonesia. Saya melihat dengan jelas
perlakuan yang berbeda-beda (discriminative) dalam penegakan hukum. Ada timbang pilih dalam penegakan hukum.
Saya
melihat ketidak adilan itu jelas. Mungkin saya kurang ilmu, atau tidak
paham dengan istilah-istilah legal. Karenanya saya minta maaf.
Sesungguhnya,
dalam tahun-tahun terakhir, saya mulai bangga dengan penegakan hukum di
negara ini. Dan itu bagi saya adalah kegwmbiraan sekaligus optimisme.
Bahwa di tengah berbagai permasalahan bangsa, akan masalah mulai
terbenahi.
Betapa
tahun-tahun terakhir penegak hukum, KPK khususnya, telah banyak menahan
pejabat atau mantan pejabat karena sangkaan penyelewengan alias
tersangka. Tentu terlalu banyak jika saya sebutkan satu per satu yang
ada di benak saya. Mungkin beberapa saja yang saya anggap paling
populer, atau juga karena kedekatan pribadi dengan saya.
Dua
mantan menteri agama ditangkap karena statusnya sebagai tersangka
menyelewengkan dana haji. Yang prrtama adalah Dr. Said Aqil Al-Munawar.
Dan yang kedua adalah Surya Darma Ali yang sebagai Ketum PPP ketika itu.
Kasus
lainnya adalah seorang perempuan aktifis Muhammadiyah, kebanggan umat,
mantan Menteri Kesehatan RI, Siti Fadhilah. Beliau juga ditahan karena
statusnya sebagai tersangka. Padahal, sejatinya beliau berhasil
menentang pemaksaan kehendak orang untuk menerima vaksin produk mereka.
Dua
kasus terakhir ini barangkali sepanjang ingatan saya adalah yang paling
aneh, bahkan pada level tertentu sangat pahit menerimanya. Tapi anggap
itulah benar dalam pertimbangan hukum. Mereka memang harus ditangkap
karena status "TERSANGKA" tadi. Ya tidak apa. Mungkin memang begitulah
seharusnya.
Kedua
kasus itu adalah adalah kasus mantan ketua KPK, Abraham Samad dan
mantan Menteri dan pengusaha sukses, Dahlan Iskan. Abraham Samad ditahan
alias ditangkap karena sangkaan (tersangka) menyelewengkan wewenang
dalam pemalsuan dokumen pengurusan paspor. Sementara Dahlan Iskan
ditahan karena sangkaan (tersangka) menjual aset daerah secara salah.
Salah seorang wakil ketua KPk juga ditangkap karena adanya sangkaan kesalahan alias tersangka, Bambang Wijayanto.
Apapun
realita yang sesungguhnya dari tuduhan kepada mereka semua, saya
menghormati keputusan penangkapan itu karena status mereka sebagai
tersangka. Sekali lagi karena status tersangka. Mungkin memang begitulah
harusnya hukum dijalankan. Bahwa yang "berstatus tersangka" harus
ditahan.
Bahkan
jika tidak salah ingat, mantan presiden kedua RI, Soeharto, juga sempat
tersangka di tahun 2000. Beliau tidak sempat ditahan hanya karena
beliau terjatuh sakit keras sejak penetapan itu. Atas dasar humanitarian
beliau tidak mengalami penahanan atau penangkapan itu.
Tersangka tapi bebas?
Yang
membingunkan kemudian adalah jika mereka semua itu ditahan karena
status TERSANGKA, kenapa ada perlakuan lain kepada tersangka lainnya?
Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang saat ini telah ditetapkan sebagak
tersangka, tidak saja belum ditahan, tapi justeru masih menjabat
sebagai gubernur non aktif DKI. Bahkan masih merasa tidak bersalah dan
sangat percaya diri maju sebagai calon pada pemilihan gubernur tahun
depan.
Pertanyaan saya adalah apakah memang ada perbedaan "treatment"
ketika seseorang tersangka? Artinya ada yang berstatus tersangka yang
harus ditahan. Dan ada juga yang berstatus tersangka tapi tetap bebas?
Kalau
kata "tersangka" itu memiliki defenisi yang sama dalam hukum, kenapa
harus ada perbedaan perlakuan? Ada yang tersangka dan ditahan. Tapi ada
juga yang tersangka tapi masih bebas?
Sebagai
orang awam saya hanya bisa terheran-heran dan geleng kepala. Kalau saya
melihat jasa dari masing-masing tersangka dan ditangkap itu sungguh
trenyuh hati ini.
Abraham
Samad barangkali adalah seorang sosok penegak hukum yang akan dicatat
oleh sejarah negeri ini. Kesederhanaan dan keluguannya sebagai putra
Makassar menjadikannya berani menembus kekebalan koruptor. Itu sebabnya
pernah disebut-sebut akan menjadi cawapres saat itu.
Dahlan
Iskan adalah sosok pebisnis yang sukses. Kesederhanaan hidup
menjadikannya tidak pernah terlalu rakus dengan dunia. Bahkan di saat
menjadi pejabat tinggi negeri ini beliau tidak mengambil gaji. Semua
didedikasikan untuk bangsa dan negara ini.
Lalu
di mana keistewaan Ahok itu? Kenapa Ahok di saat telah ditetapkan
sebagai tersangka masih tidak disentuh, kecuali pelarangan keluar
negeri?
Perlakuan
yang berbeda dalam menyikapi kasus hukum, tersangka, dari satu orang ke
orang lain, jelas adalah bentuk ketidak adilan. Dan inilah yang
menjadikan saya dan jutaan umat yang peduli menjadi resah.
Ini
bukan masalah agama. Bukan pula masalah etnis. Ataupun karena dorongan
politik. Karena bagi saya Pancasila dan UUD adalah konsensus kebangsaan.
Dan konsensus ini menjamin hak semua warga, apapun agama dan etniknya
untuk memilih dan dipilih.
Oleh
karenanya tuntutan umat untuk dilakukan perlakuan sama kepada semua di
hadapan hukum harus didukung. Sebuah negara banyak ditentukan oleh hukum
dan penegakan hukumnya. Sehingga tuntutan teman-teman untuk hadirnya "equal treatment" kepada semua warga adalah amanah konsritusi.
Bukan
sebaliknya justeru ditakutkan. Apalagi dianggap makar. Sebaliknya
tuntutan ini harus dilihat sebagai pengawalan hukum. Dan dengan
sendirinya sesungguhnya adalah pengawalan terhadap bangsa dan negara
dari pengrusakan yang mungkin tidak disadari. Wallahu a'lam!
Penulis : Imam Shamsi Ali
Editor : Sahrul Husu
Sumber : republika.co.id
Sumber : republika.co.id
0 komentar:
Posting Komentar