![]() |
Ilustrasi |
Metropilar Pos - Kampus
sejatinya adalah tempat dimana para mahasiswa dapat mengenali gejala-gejala
sosial yang ada dimasyarakat agar mampu memberikan solusi terhadap permasalahan
masyarakat tersebut. Sebagai ladang ilmu, kampus juga seharusnya menjadi tempat
para intelektual mahasiswa membangun negara melalui gagasan-gagasan yang lebih
maju.
Namun
setuju atau tidak setuju, kampus saat ini tak ubahnya seperti penjara. Mengapa
demikian? Saya akan mencoba menguraikan beberapa hal. Pertama: Kampus telah mempersempit ruang demokrasi para mahasiswa.
Hal tersebut dapat dilihat dari watak kampus yang mulai melarang mahasiswa
untuk kritis terhadap berbagai macam persoalan dan kebijakan yang telah
dikeluarkan baik pada tingkat Universitas maupun pada tingkat Fakultas.
Jika
mahasiswa itu mencoba untuk menolak atau melawan melalui Aksi Massa maka kampus
akan membayang-bayanginya dengan Skorsing atau DO (Drop Out). Maka hal tersebut akan berdampak pada kurangnya daya
kritis mahasiswa serta membuat mahasiswa itu selalu manut atau mengikut saja
bagai ternak.
Kedua, Kampus
menilai mahasiswanya hanya berdasarkan angka-angka serta huruf-huruf saja. Lihat
saja apa yang terjadi pada mahasiswa, mahasiswa hanya disibukkan dengan
tugas-tugas kuliah yang begitu banyak dari dosen agar mendapatkan nilai
maksimal, tentu saja itu adalah Nilai A.
Selain
itu, mahasiswa juga dipaksa berlomba untuk mencapai target berupa angka-angka
pada nilai akhir yang dicapai atau biasa disebut dengan Nilai Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK) yaitu 0 sampai 4. Pada
akhirnya mahasiswa lupa bahwa rakyat sedang membutuhkannya saat ini. hal
tersebutlah yang membuat jurang pemisah yang begitu lebar antara mahasiswa dan
rakyatnya.
Ketiga,
Kampus telah mengadopsi sistem pasar. Maksudnya kampus tidak lagi mengajarkan
ataupun menyiapkan mahasiswa untuk mengabdi kepada masyarakat dan negaranya
melainkan megarahkan mahasiswa untuk menjadi tenaga kerja atau buruh pada
perusahaan-perusahaan swasta setelah selesai kelak.
Saya jadi ingat dengan potongan puisi WS
Rendra:
Dan di
dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Dari berbagai persoalan tersebut, maka saya kira tidak berlebihan kalau
kita katakan bahwa kampus adalah penjara intelektual. Untuk itu, kalau
mahasiswa ingin bebas dari penjara tersebut, mahasiswa harus melakukan; (1) menghidupkan
kembali panggung-panggung dan mimbar-mimbar politik seperti mimbar bebas, rapat akbar,
dan pertemuan-pertemuan mahasiswa. (2)
mengefektikan penggunaan media informasi kampus, seperti pers kampus dan
radio kampus, untuk kepentingan proganda dan penyebarluasan gagasan-gagasan
perjuangan. (3) menghidupkan kembali kelompok diskusi dan kajian di kampus dan
kamar-kamar kost untuk membahas berbagai tema sosial, ekonomi, politik, dan
kebudayaan, dan (4) mengajak massa mahasiswa di kampus untuk keluar merespon
berbagai persoalan rakyat dan bersolidaritas terhadap berbagai persoalan rakyat
itu.
Ingat!
Mahasiswa di kampus bukan untuk menjadi ternak dan mengisolasi perjuangan dari
massa rakyat. Akan tetapi, perlu ditegaskan, bahwa mahasiswa ke kampus untuk
memperbesar barisan mahasiswa dan sekaligus melipat-gandakan kekuatan bersama
rakyat. Ya, kalau tidak mau dikatakan bahwa para mahasiswa itu hidup dalam
penjara intelektual.
Penulis: Marhaeni
0 komentar:
Posting Komentar