Metropilar Pos - Kita
sering mendengar kata atau istilah marhaen dan cukup banyak organisasi yang
menggunakan istilah marhaen sebagai alat perjuangan. Banyak pula yang
mendefinisikan kata marhaen ini, ada yang mengatakan marhaen itu sebagai kaum
tani dan ada juga yang mengatakan marhaen itu sebagai wong cilik. Tapi
dibeberapa pihak mengatakan marhaen itu sama dengan Proletar atau Buruh.
Istilah
marhaen sendiri merujuk pada Bung Karno. Karena dialah yang pertama kali
mengemukakan dan mempopulerkan istilah marhaen sebagai alat perjuangan bangsa
Indonesia untuk melawan segala bentuk penindasan manusia atas manusia dan
bangsa atas bangsa. Namun yang menjadi pertanyaan siapakah kaum marhaen
tersebut? Apakah dia adalah kaum tani, wong cilik, proletar, mahasiswa, keturunan
bangsawan ataupun bahkan para pemiliki modal atau borjuis nasional?
Bung
Karno mengemukakan kategori-kategori
marhaen antara lain, yaitu: pertama, ia merupakan pemilik produksi kecil.
Kedua, ia tidak menyewa atau mempekerjajakan orang lain. Alat produksi itu
dikerjakan dengan tenaga sendiri (plus keluarga). Ketiga, ia tidak punya
majikan. Keempat, hasil produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
dan keluarganya. Kadang hasil produksinya pas-pasan.
Untuk itu, Bung Karno mendefenisikan Marhaen sebagai
berikut: seorang marhaen adalah seorang yang mempunyai alat produksi kecil;
seorang kecil dengan alat produksi kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup
untuk dirinya sendiri.
Dalam terminologi Marxis ini sepadan dengan istilah “borjuis
kecil”. Namun Bung Karno memberi penekanan terhadap istilah marhaen yaitu
dengan istilah “kaum melatar Indonesia”. Artinya, meskipun ia pemilik produksi
kecil—mungkin mirip dengan borjuis kecil—tetapi ia hidup sangat melarat.
Dengan demikian,
istilah marhaen mencakup petani kecil, pedagang kecil, pemilik usaha kecil, dan
lain-lain.
Dalam
perkembangannya, Bung Karno mulai memasukkan proletar sebagai bagian dari
Marhaen Indonesia. Pada tahun 1960-an, Soekarno menyebut kaum Marhaen itu terdiri
dari tiga unsur: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani
melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya.
Nah,
bagaimana dengan Mahasiswa. Apakah dia termasuk dalam golongan kaum marhaen
atau tidak?
Mahasiswa
sendiri masuk dalam kategori borjuis kecil dalam terminologi marxis. Namun seperti
diungkapkan Bung Karno, selain marhaenisme sebagai analisis kelas dia juga
sebagai alat perjuangan rakyat Indonesia, untuk itu selama mahasiswa masih
mengabdi kepada rakyat tertindas maka mahasiswa itu termasuk dalam golongan
kaum marhaen.
Pendek
kata, siapapun yang merasakan penghisapan manusia atas manusia dan bangsa atas
bangsa atau yang dikenal dengan Kapitalisme serta berjuang untuk pembebasan
tersebut, baik dia golongan bangsawan, borjuis nasional maupun mahasiswa serta
golongan lainnya, maka dia termasuk golongan kaum marhaen. Namun sebaliknya,
walaupun pakaiannya compang-camping, hidup dalam keadaan melarat, tetapi tidak
merasa tertindas serta tidak membela rakyat tertindas maka dia bukanlah
termasuk golongan kaum marhaen.
Karena
marhaenisme adalah marxisme yang diselenggarakan atau diterapkan di Indonesia
dan telah disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia itu sendiri. Maka menurut
Bung Karno agar dapat memahami marhaenisme, paling sedikit harus mengetahui dua
pengetahuan, yakni; pengetahuan tentang marxisme serta pengetahuan tentang
situasi dan kondisi Indonesia.
Akhir
kata, izinkan saya mengutip perkataan Bung Karno “Kita harus benar-benar berpegang
teguh kepada apinya Marhaenisme, dan jangan kita hanya sekedar mencungkil-cungkil
saja abunya ajaran Marhaenisme. Sekali lagi saya berpesan, Warisi Apinya jangan
Abunya”.
Penulis:
Marhaeni
0 komentar:
Posting Komentar