Metropilar Pos - Jakarta, Polisi dan aparat penegak hukum lainnya hendaknya berhati-hati
menerapkan pasal2 pidana dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara. Pelanggaran pasal2 larangan membuat tulisan,
gambar dan coretan pada Bendera RI perlu persuasif karena masyarakat
awam, bahkan pejabat negara, birokrat dan bahkan penegak hukum sendiri
banyak yang belum paham tentang bendera negara, ukuran, bahan
pembuatannya, tatacara penggunaannya dan larangan-larangannya.
Bendera Negara RI sang saka merah putih itu, menurut UU, ukurannya pasti
yakni warna merah dan putih sama besarnya. Lebar bendera adalah 2/3
ukuran panjangnya. Bahannya terbuat dari kain yang tdk mudah luntur.
Ukurannya untuk keperluan2 tertentu juga sudah diatur oleh UU. Dengan
demikian, tdk semua warna merah putih adalah otomatis dalah bendera
negara RI. Kain yang berwarna merah putih namun tidak memenuhi kreteria
syarat2 untuk dapat disebut sebagai bendera RI, bukanlah bendera RI.
Ambillah contoh, kaleng susu manis bekas yang bagian atasnya dicat merah
dan bagian bawahnya dicat putih, kaleng merah putih itu bukanlah
bendera negara RI. Warna merah putih seperti di kaleng susu bekas itu
paling tinggi hanyalah "merepresentasikan" bendera RI, namun samasekali
bukan bendera RI. Semua ketentuan itu diatur dalam Pasal 4 UU No 24
Tahun 2009.
Selanjutnya Pasal 24 UU No 24 Tahun 2009 itu memuat
larangan antara lain larangan merusak, merobek, menginjak-injak,
membakar atau melakukan perbuatan lain dengan maksud untuk "menodai,
menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara". Mereka yang
melanggar larangan ini diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.
Larangan
juga dilakukan terhadap setiap orang untuk "mencetak, menyulam, dan
menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau
benda apapun pada Bendera Negara". Terhadap mereka yang melakukan apa
yang dilarang ini diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahu
atau denda paling banyak seratus juta rupiah.
Dari rumusan delik
pidana UU No 24 Tahun 2009 ini, jelas terlihat bahwa terhadap mereka
yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar atau melakukan
perbuatan lain yang dilarang undang-undang ini haruslah ada unsur
kesengajaan dan niat jahat untuk menodai, menghina atau merendahkan
kehormatan bendera negara. Jadi mereka yang tidak sengaja dan tidak
mempunyai niat untuk menodai, menghina dan merendahkan kehormatan
bendera negara, tidaklah dapat dipidana karena perbuatannya itu.
Namun lain halnya terhadap mereka yang mencetak, menyulam dan menulis
huruf, angka, gambar atau tanda lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal
67 huruf c undang-undang ini, unsur kesengajaan dan niat untuk menodai
atau merendahkan martabat bendera negara itu tidak perlu ada. Jadi siapa
saja yang melakukannya, sengaja maupun tidak sengaja, ada niat untuk
menodai, menghina dan merendahkan atau tidak, perbuatan itu sudah dapat
dipidana dengan ancaman penjara paling lama setahun atau denda paling
banyak seratus juta rupiah.
Ancaman pidana paling lama setahun
terhadap pelanggaran Pasal 67 huruf c di atas, menunjukkan bahwa tindak
pidana ini tergolong sebagai tindak pidana ringan. Karena itu, saya
berpendapat penegakan hukum atas pasal ini hendaknya dilakukan oleh
aparat penegak hukum dengan cara yang bijaksana, jangan dilaksanakan
dengan tergesa-gesa. Apalagi penegakannya dilakukan tebang pilih
terhadap mereka-mereka yang tidak disukai dan berseberangan dengan
pemerintah. Sementara yang lain, yang melakukan perbuatan yang sama,
tidak diambil langkah penegakan hukum apapun.
Mengapa saya
katakan penerapan Pasal 67 huruf c itu, katakanlah terhadap seseorang
yang menulis huruf-huruf atau angka, harus dilakukan secara bijak?
Sebabnya adalah sebagian besar warga masyarakat belum mengetahui bahwa
perbuatan tersebut dilarang dan dapat dipidana. Ketidaktahuan itu juga
ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat
penegak hukum sendiri. Coba saja search di internet, niscaya adanya
tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat
banyak.
Saya ingat jauh sebelum adanya UU No 24 Tahun 2009,
adanya tulisan2 pada bendera negara kita tatkala umat Islam dari negara
kita menunaikan ibadah haji. Biasanya bendera itu dikibarkan oleh ketua
rombongan agar jemaah tidak tersesat dan terpisah dari rombongan.
Sekarangpun hal itu masih terjadi. Saya pernah memberitahu ketua sebuah
rombongan umroh bahwa menulis sesuatu pada bendera itu dilarang
undang-undang dan dapat dihukum. Merekapun terkejut dan mengatakan
samasekali tidak mengetahui hal itu.
Kasus Nurul Fahmi
Hari ini Sabtu 21/1/2017 polisi telah menahan Nurul Fahmi yang membawa
bendera merah putih bertulisan Arab yang diduga kalimah tauhid dan di
bawahnya ada gambar pedang bersilang dan dipasang di sepeda motor waktu
demo FPI di Mabes Polri, Jakarta Selatan. Kabid Humas Polda Metro Jaya
Kombes Argo Yuwono mengatakan bahwa Fahmi diduga melanggar Pasal 66 jo
Pasal 24 subsider Pasal 67 UU No 24 Tahun 2009.
Pengenaan Pasal
66 terhadap apa yang dilakukan Fahmi adalah sesuatu yang berlebihan.
Pasal 66 itu seperti telah saya katakan di atas, dikenakan terhadap
mereka yang dengan sengaja merusak, merobek, menginjak-injak, membakar
dan seterusnya dengan maksud untuk menodai, menghina, atau merendahkan
kehormatan bendera negara. Fahmi samasekali tidak melakukan ini. Dia
hanya membawa bendera merah putih yang ditulisi kalimat tauhid dan
digambari pedang bersilang. Karena itu, pasal yang tepat dikenakan untuk
Fahmi adalah Pasal 67 huruf c yakni menulis huruf atau tanda lain pada
bendera negara.
Polisi nampak dengan sengaja mengenakan Pasal 66
yang lebih berat kepada Fahmi, padahal itu diduga tidak dia lakukan.
Sementara terhadap apa yg dilakukannya, yang seharusnya dikenakan Pasal
67 huruf c, justru dijadikan subsider. Selain membolak-balik pasal dalam
kasus Fahmi, tindakan penahanan terhadap Fahmi juga dapat dianggap
sebagai tindakan berlebihan. Sebab ancaman pidana dalam Pasal 66 itu
bukan di atas lima tahun, melainkan selama-lamanya lima tahun.
Pada hemat saya, polisi hendaknya mendahulukan langkah persuasif kepada
setiap orang yang diduga melanggar Pasal 67 huruf c, sebelum mengambil
langkah penegakan hukum. Sebab jika langkah penegakan hukum atau law
inforcement dilakukan terhadap Fahmi, langkah serupa harus dilakukan
terhadap siapa saja yang melakukan pelanggaran yang sama. Bahkan langkah
penegakan hukum itu harus pula dilakukan terhadap aparat penegak hukum
sendiri yang juga patut diduga melakukan pelanggaran yang serupa.
Jika langkah penegakan hukum itu hanya dilakukan terhadap Fahmi,
terlepas dia anggota FPI atau bukan, namun dia ditahan gara-gara membawa
bendera yang diberi tulisan kalimat tauhid itu pada waktu ada demo FPI,
maka terkesan penegakan hukum ini terkait langsung maupun tidak
langsung terhadap FPI. Sementara perorangan yang terkait dengan
ormas-ormas yang lain yang melakukan hal yang sama, belum ada langkah
penegakan hukum apapun juga.
Karena itu, saya menghimbau polisi
untuk bersikap obyektif dan mengambil langkah hukum yang hati-hati untuk
mencegah kesan yang kian hari kian menguat bahwa polisi makin menjauh
dari umat Islam dan sebaliknya makin melakukan tekanan. Tidak semua
orang, bahkan di kalangan umat Islam sendiri, setuju dengan langkah2
yang diambil oleh FPI dalam segala hal. Hal itu normal saja dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun menjauh dari
Islam dan umatnya, tidak akan membuat negara ini makin aman dan makin
baik. Karena itu, hikmah- kebijaksanaanlah yang harus ada dan
dikedepankan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Penulis : Yusril Ihza Mahendra
0 komentar:
Posting Komentar