Kampus tak hentinya-hentinya menyimpan banyak dinamika untuk di kupas. Hirup pikuk kehidupan mahasiswa telah memasuki dekade keapatisan. Dahulu, kampus dikenal sebagai pabrik pemroduksi nalar-nalar kritis yang memacu mahasiswa untuk senantiasa berdedikasi dalam merealisasikan segala simpulan pengeksplorasian alam pikirnya. Ketika nalar-nalar kritis berfungsi, tak ada lagi yang namanya masalah sebab segala persoalan-persoalan telah terpecahkan seketika. Berfungsinya nalar kritis mahasiswa seolah memberi ultimatum tak akan memberi penangguhan yang cukup (waktu lama) bagi setiap masalah untuk menguasai alam pikir mahasiswa atau sampai dapat menimbulkan segala gejala kepusingan yang berujung stres.
Zaman
telah berganti budaya pun mengikuti arus perubahan, telah terjadi pergesaran
budaya yang dulunya berjaya budaya kritis, kini budaya bisu menjadi primadona
bagi mahasiswa. Mahasiswa yang selalunya dilabeli sebagai panji-panji perubahan,
seakan-akan label ini telah kadaluwarsa. Mahasiswa hanya dibesar-besarkan dalam
cerita herois para pendahulunya yang laris manis di konsumsi masyarakat dan
anehnya sampai saat ini dijadikan alasan kebanggaan bagi mahasiswa generasi
baru. Mahasiswa telah di landa amnesia dengan status yang di embannya,
kehilangan arah pegangan bagaikan serpihan sampah-sampah yang terombang-ambing
ombak lautan. Pasrah tergerus arus dan tak berani beranjak untuk melakukan
revolusi diri.
Iklim
kehidupan makin hari makin membingungkan dan tak terkontrol, masalah-masalah yang
hadir kian menunjukan kompleksitas. Beragam tantangan silih berganti
berdatangan, baik aspek sosial maupun aspek didiplin ilmu yang digeluti
mahasiswa. Sebenarnya setiap mahasiswa
atau manusia telah dibekali Tuhan dengan
nalar, suatu berkah yang tak diberikan Tuhan kepada semua golongan ciptaanNya. Lewat
penjelajahan nalarnya mahasiswa mengmanifestasikan kemerdekaan untuk mengarungi
luasnya lautan pemikiran. Sebagai makhluk bebas, doktrin ataupun dogma harus
secara selektif dicerna. Jika kita membatasi pemikiran dengan pagar-pagar
doktirn ataupun dogma sama halnya kita mencederai kemerdekaan bernalar yang
telah di anugrahkan Tuhan.
Sudah
sewajarnya dalam mengahadapi kompleksitas masalah-masalah yang membendung
langkah mahasiswa untuk berkembang, kita harus menempah diri agar selalu siap
menghadapi gebrakan kejutan perubahan, seperti halnya di dunia pertanian padi, saat
musim kemarau datang lebih awal memaksakan proses pemanenan secara dini dan
hasilnya pun tidak sesuai ekspektasi dikala musim normal. Namun seiring
perkembangan zaman, bagi manusia berpikir, kejutan pergantian musim yang secara
tiba-tiba telah mengantarkannya untuk melahirkan suatu metode Rekayasa Genetika
di dunia pertanian. Suatu rekayasa yang dapat menciptakan bibit padi dengan masa
panen singkat dan hasilnya juga maksimal. Hal seperti ini harusnya di adopsi dan diterapakan
digelanggang kemahasiswaan, sebagai contoh terjadinya pemotongan angkatan
dikursi kelembaggaan kampus. “Setiap masa
punya orang dan setiap orang punya masa” , kalimat sakral yang kini tidak
berlaku. Pemotongan angkatan tak ubahnya bagaikan musim kemarau yang datang
lebih awal, boleh dikata tidak terprediksikan. Tak heran, pemotongan angkatan sering
menumbuh suburkan perasaan skeptis terhadap kualitas outpunya. Pasrah bukanlah
pilihan namun tiada jalan lain selain
menerima, untuk itu kita harus mensiasatinya agar kualitas ouput sesuai atau bahkan
melebihi ekspektasi.
Dunia
kampus selalunya berisikan dua kelas sosial, mahasiswa sadar dan mahasiswa
tidak sadar. Perbandingan kedua kelas
secara kuantitas, mahasiswa tidak sadar mendominasi mahasiswa sadar. Akibatnya
degradasi kepekaan sosial maupun keilmuan mahasiswa merebak sampai ke titik kritis.
Penalaran yang mestinya berfungsi sebagai senjata analisis akan tetapi tidak
bisa difungsikan bak pistol tanpa
peluru. Mahasiswa telah menindas dirinya sendiri, potensi-potensi kritis yang
dimilikanya dimatikan dengan jalan menulari diri dengan virus kebisuan. Diam
adalah pilihan aman yang akan selalu membuat diri nyaman bagi mahasiswa-mahasiswa
penghianat Anugrah Tuhan (penalaran). Diam disini bukan sekedar berarti tidak
bersuara tetapi diam juga bermakna tidak mau bertindak atau mengaktualisasikan
konsep hasil racikan.
Olehnya
itu perlu ditumbuhkan kesadaran paradigma kritis mahasiswa dalam merespon
segala permasalahan yang melanda wilayah mahasiswa. Pucuk kesadaran akan bertunas
jika virus kebisuan sudah divaksinisasi dengan cakrawala pengetahuan. Tentunya
vaksin yang diracik dari proses membaca, diskusi dan menulis. Sebagaimana telah
dilakukan oleh tokoh-tokoh revolusioner Indonesia dalam merintis kemerdekaan (Cokro
Aminoto, Tan Malaka, Hatta, Soekarno dan sebagainya) dan mereka berhasil sebab
tidak sekedar kritis bersuara tetapi juga kritis dalam bertindak. Dengan kata lain
membaca, diskusi dan menulis adalah pemantik untuk bertindak.
Penulis
: La Ode Abdul Wahid
Referensi :
Diskusi Gladiator 14 (Mahasiswa Teknik 014) Rabu 5 April 2017 di Kopi 41
0 komentar:
Posting Komentar